… dimulai seperti ratusan hari sebelumnya … buruk sekali. Sudah cukup jelek untuk berada di Yudea; tetapi dibandingkan dengan itu, menunggu di sebuah bukit batu… bersama imam-imam yang sok mengatur terasa seperti berncana saja. Tugasnya sama sekali tidak dihargai dan lagi berada di negeri asing. Ia ingin sekali hari itu berakhir sebelum dimulai.
Ia heran melihat perhatian semua orang terhadap pemuda desa itu. Ia tersenyum melihat papan yang akan ditaruh di atas salib. Yang terhukum itu sama sekali tidak kelihatan seperti seorang raja. Mukanya remuk, penuh bilur-bilur. Punggungnya agak bungkuk dan matanya menatap ke bawah. “Kasihan. Orang udik yang tidak ada apa-apanya,” pikir perwira itu. “Apa saja sih yang diperbuatnya sampai ia dihukum begitu rupa?”
Lalu Yesus mengangkat kepala-Nya. Ia tidak marah. Ia tidak resah. Mata-Nya memandang dengan ketenangan yang ajaib dari wajah yang penuh darah. Ia memandang kepada mereka yang mengenal-Nya, sengaja memandang mereka satu demi satu seolah-olah Ia sedang memberi pesan kepada mereka masing-masing.
Selintas pandang saja ia bertatapan dengan perwira itu, sedetik saja perwira Romawi itu berpandangan dengan mata yang paling murni yang pernah dilihatnya. Ia tidak mengerti arti dari pandangan itu. Tetapi, pandangan itu membuatnya menelan ludah sebentar dan perutnya kosong. Ketika melihat seorang prajurit menggenggam Yesus dan menghela Dia, dalam hati kecilnya ia tahu bahwa ini akan menjadi hari yang tidak normal.
Ketika jam demi jam berlalu, perwira itu mendapati dirinya semakin sering memandang kepada Dia yang tersalib di tengah. Ia benar-benar tidak tahu bagaimana mengartikan sikap orang Nazaret yang terus diam itu. Ia tidak tahu harus diapakan kemurahan-Nya.
Akan tetapi, di atas segalanya itu, ia sangat bingung melihat kegelapan yang menggantung di langit. Ia tidak tahu apa artinya langit yang hitam itu di tengah-tengah siang. Tidak ada orang yang dapat menjelaskan kepadanya mengenai kejadian itu… bahkan tidak ada seorang pun yang dapat menjelaskannya. Sebentar matahari bersinar, sebentar kemudian langit gelap pekat. Satu menit masih panas terik, tiba-tiba menit berikutnya angin dingin berhembus. Bahkan para imam angkuh itu tidak dapat mengatakan apa-apa.
Lama sekali perwira Romawi itu duduk di atas sebuah batu dan terus-menerus memandangi tiga sosok yang membayang di udara. Kepala mereka terkulai, kadang-kadang digerakkan lemah dari sisi yang satu ke sisi yang lain. Olok-olokan terdiam… kesunyian itu mengerikan. Mereka yang tadi menangis, kini menunggu.
Tiba-tiba kepala yang di tengah berhenti bergerak kian kemari. Kepala itu tersentak tegak. Mata itu sekonyong-konyong membelalak putih. Suara gemuruh membelah kesunyian, “Sudah Selesai.” Bukan teriakan. Bukan jeritan, tetapi gemuruh… seperti bunyi singa mengaum. Dari mana asal suara itu, perwira itu tidak tahu. Yang jelas bukan dari dunia ini.
Perwira itu berdiri dari batunya dan maju beberapa langkah ke arah orang Nazaret itu. Ketika mendekat, ia melihat Yesus menatap ke langit. Ada sesuatu di dalam mata-Nya yang ingin dilihatnya terjatuh. Ia bangun lalu terjatuh lagi. Tanah bergerak, mula-mula hanya sedikit, tetapi lalu berguncang dengan dahsyatnya. Ia mencoba bangkit sekali lagi dan berhasil maju beberapa langkah, lalu terjatuh… di kaki salib.
Ia melihat ke atas, kepada wajah orang yang sudah dekat dengan maut itu. Sang Raja melihat ke bawah kepada perwira tua yang cepat naik darah itu. Tangan Yesus terikat, tidak dapat meraih. Kaki-Nya terpaku pada salib, tidak dapat berjalan mendapatkannya. Kepala-Nya berat karena saking sakitnya dan hampir-hampir tidak dapat digerakkan lagi. Tetapi, mata-Nya… mata-Nya menyala-nyala.
Mungkin itulah yang mendorong perwira itu mengeluarkan ucapan itu. Ia melihat mata Tuhan… ia melihat mata Tuhan. Ia melihat mata yang sama yang dilihat wanita pezinah yang hampir telanjang dikeroyok warga di Yerusalem, janda kembang yang tidak punya sahabat di Samaria, dan Lazarus yang mati empat hari di pekuburan. Mata yang sama yang tidak dipejamkan melihat kesia-siaan manusia, tidak berpaling tatkala menyaksikan kegagalan manusia, dan tidak ngeri melihat kematian manusia.
“Tidak apa-apa,” pesan mata Tuhan. “Aku sudah mengalami badai dan semua baik-baik saja.”
Keyakinan-keyakinan sang perwira mulai memusat seperti sungai-sungai yang mengalir ke satu tempat pertemuan. “Ini bukan tukang kayu,” gumamnya. “Ini bukan orang udik. Ini bukan orang biasa.”
Ia berdiri melihat sekelilingnya kepada batu-batu yang jatuh dan langit yang menjadi hitam. Ia berbalik dan melihat kepada prajurit-prajurit yang memandang kepada Yesus dengan wajah yang beku. Ia berbalik lagi dan melihat bagaimana Yesus mengarahkan mata-Nya ke atas, ke rumah-Nya. Ia mendengar ketika bibir yang pecah-pecah itu terbuka dan lidah yang membengkak berbicara untuk yang terakhir kalinya, “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu kuserahkan nyawaku.”
Kalau bukan perwira itu yang mengatakannya, tentu prajurit-prajurit akan menyatakannya. Kalau bukan perwira itu yang mengatakannya, pasti batu-batu yang menyatakannya, seperti juga para malaikat, bintang-bintang, bahkan setan-setan. Tetapi, dialah yang mengatakannya. Orang asing tidak kebagian untuk menyatakan apa yang diketahui oleh semuanya, “Sungguh, Ia ini adalah Anak Allah.”
Enam jam di suatu hari Jumat. Enam jam di tempat yang menjulang tinggi di dataran sepanjang sejarah manusia seperti Mount Everest di sebuah gurun. Enam jam yang diuraikan, dibedah, dan didiskusikan selama lebih dari dua ribu tahun.
Apa arti dari enam jam itu? Mereka mengklaim menjadi pintu dalam waktu dan melalui pintu itu kekekalan memasuki goa manusia yang paling gelap. Mereka menandakan saat-saat ketika Sang Navigator turun ke dalam air yang paling dalam untuk meninggalkan tempat-tempat berpaut bagi pengikut-pengikutnya.
Apa artinya Jumat itu?
Bagi kehidupan yang suram karena kegagalan dan dosa, Jumat itu berarti PENGAMPUNAN.
Bagi hati yang terluka karena kesia-siaan, Jumat itu berarti TUJUAN.
Dan bagi jiwa yang melihat ke dalam terowongan kematian, Jumat itu berarti KELEPASAN.
Enam jam. Suatu Hari Jumat.
Apa yang Anda lakukan dengan enam jam di hari Jumat itu?(l@)
Dikutip dari: “Enam jam di suatu hari Jumat”, Max Lucado
Ia heran melihat perhatian semua orang terhadap pemuda desa itu. Ia tersenyum melihat papan yang akan ditaruh di atas salib. Yang terhukum itu sama sekali tidak kelihatan seperti seorang raja. Mukanya remuk, penuh bilur-bilur. Punggungnya agak bungkuk dan matanya menatap ke bawah. “Kasihan. Orang udik yang tidak ada apa-apanya,” pikir perwira itu. “Apa saja sih yang diperbuatnya sampai ia dihukum begitu rupa?”
Lalu Yesus mengangkat kepala-Nya. Ia tidak marah. Ia tidak resah. Mata-Nya memandang dengan ketenangan yang ajaib dari wajah yang penuh darah. Ia memandang kepada mereka yang mengenal-Nya, sengaja memandang mereka satu demi satu seolah-olah Ia sedang memberi pesan kepada mereka masing-masing.
Selintas pandang saja ia bertatapan dengan perwira itu, sedetik saja perwira Romawi itu berpandangan dengan mata yang paling murni yang pernah dilihatnya. Ia tidak mengerti arti dari pandangan itu. Tetapi, pandangan itu membuatnya menelan ludah sebentar dan perutnya kosong. Ketika melihat seorang prajurit menggenggam Yesus dan menghela Dia, dalam hati kecilnya ia tahu bahwa ini akan menjadi hari yang tidak normal.
Ketika jam demi jam berlalu, perwira itu mendapati dirinya semakin sering memandang kepada Dia yang tersalib di tengah. Ia benar-benar tidak tahu bagaimana mengartikan sikap orang Nazaret yang terus diam itu. Ia tidak tahu harus diapakan kemurahan-Nya.
Akan tetapi, di atas segalanya itu, ia sangat bingung melihat kegelapan yang menggantung di langit. Ia tidak tahu apa artinya langit yang hitam itu di tengah-tengah siang. Tidak ada orang yang dapat menjelaskan kepadanya mengenai kejadian itu… bahkan tidak ada seorang pun yang dapat menjelaskannya. Sebentar matahari bersinar, sebentar kemudian langit gelap pekat. Satu menit masih panas terik, tiba-tiba menit berikutnya angin dingin berhembus. Bahkan para imam angkuh itu tidak dapat mengatakan apa-apa.
Lama sekali perwira Romawi itu duduk di atas sebuah batu dan terus-menerus memandangi tiga sosok yang membayang di udara. Kepala mereka terkulai, kadang-kadang digerakkan lemah dari sisi yang satu ke sisi yang lain. Olok-olokan terdiam… kesunyian itu mengerikan. Mereka yang tadi menangis, kini menunggu.
Tiba-tiba kepala yang di tengah berhenti bergerak kian kemari. Kepala itu tersentak tegak. Mata itu sekonyong-konyong membelalak putih. Suara gemuruh membelah kesunyian, “Sudah Selesai.” Bukan teriakan. Bukan jeritan, tetapi gemuruh… seperti bunyi singa mengaum. Dari mana asal suara itu, perwira itu tidak tahu. Yang jelas bukan dari dunia ini.
Perwira itu berdiri dari batunya dan maju beberapa langkah ke arah orang Nazaret itu. Ketika mendekat, ia melihat Yesus menatap ke langit. Ada sesuatu di dalam mata-Nya yang ingin dilihatnya terjatuh. Ia bangun lalu terjatuh lagi. Tanah bergerak, mula-mula hanya sedikit, tetapi lalu berguncang dengan dahsyatnya. Ia mencoba bangkit sekali lagi dan berhasil maju beberapa langkah, lalu terjatuh… di kaki salib.
Ia melihat ke atas, kepada wajah orang yang sudah dekat dengan maut itu. Sang Raja melihat ke bawah kepada perwira tua yang cepat naik darah itu. Tangan Yesus terikat, tidak dapat meraih. Kaki-Nya terpaku pada salib, tidak dapat berjalan mendapatkannya. Kepala-Nya berat karena saking sakitnya dan hampir-hampir tidak dapat digerakkan lagi. Tetapi, mata-Nya… mata-Nya menyala-nyala.
Mungkin itulah yang mendorong perwira itu mengeluarkan ucapan itu. Ia melihat mata Tuhan… ia melihat mata Tuhan. Ia melihat mata yang sama yang dilihat wanita pezinah yang hampir telanjang dikeroyok warga di Yerusalem, janda kembang yang tidak punya sahabat di Samaria, dan Lazarus yang mati empat hari di pekuburan. Mata yang sama yang tidak dipejamkan melihat kesia-siaan manusia, tidak berpaling tatkala menyaksikan kegagalan manusia, dan tidak ngeri melihat kematian manusia.
“Tidak apa-apa,” pesan mata Tuhan. “Aku sudah mengalami badai dan semua baik-baik saja.”
Keyakinan-keyakinan sang perwira mulai memusat seperti sungai-sungai yang mengalir ke satu tempat pertemuan. “Ini bukan tukang kayu,” gumamnya. “Ini bukan orang udik. Ini bukan orang biasa.”
Ia berdiri melihat sekelilingnya kepada batu-batu yang jatuh dan langit yang menjadi hitam. Ia berbalik dan melihat kepada prajurit-prajurit yang memandang kepada Yesus dengan wajah yang beku. Ia berbalik lagi dan melihat bagaimana Yesus mengarahkan mata-Nya ke atas, ke rumah-Nya. Ia mendengar ketika bibir yang pecah-pecah itu terbuka dan lidah yang membengkak berbicara untuk yang terakhir kalinya, “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu kuserahkan nyawaku.”
Kalau bukan perwira itu yang mengatakannya, tentu prajurit-prajurit akan menyatakannya. Kalau bukan perwira itu yang mengatakannya, pasti batu-batu yang menyatakannya, seperti juga para malaikat, bintang-bintang, bahkan setan-setan. Tetapi, dialah yang mengatakannya. Orang asing tidak kebagian untuk menyatakan apa yang diketahui oleh semuanya, “Sungguh, Ia ini adalah Anak Allah.”
Enam jam di suatu hari Jumat. Enam jam di tempat yang menjulang tinggi di dataran sepanjang sejarah manusia seperti Mount Everest di sebuah gurun. Enam jam yang diuraikan, dibedah, dan didiskusikan selama lebih dari dua ribu tahun.
Apa arti dari enam jam itu? Mereka mengklaim menjadi pintu dalam waktu dan melalui pintu itu kekekalan memasuki goa manusia yang paling gelap. Mereka menandakan saat-saat ketika Sang Navigator turun ke dalam air yang paling dalam untuk meninggalkan tempat-tempat berpaut bagi pengikut-pengikutnya.
Apa artinya Jumat itu?
Bagi kehidupan yang suram karena kegagalan dan dosa, Jumat itu berarti PENGAMPUNAN.
Bagi hati yang terluka karena kesia-siaan, Jumat itu berarti TUJUAN.
Dan bagi jiwa yang melihat ke dalam terowongan kematian, Jumat itu berarti KELEPASAN.
Enam jam. Suatu Hari Jumat.
Apa yang Anda lakukan dengan enam jam di hari Jumat itu?(l@)
Dikutip dari: “Enam jam di suatu hari Jumat”, Max Lucado