Busway seperti microwave berisi ikan pindang. Manusia penuh sesak berjejalan. Aku terhuyung-huyung berpegangan pada gantungan. Sebuah kursi kosong. Aku sengaja berdiri agar perempuan separuh baya di sebelahku bisa duduk, tetapi seorang laki-laki muda segera menempatinya.
Aku terbelalak. Geram. Rasanya aku ingin menendang kakinya.
Aku terbelalak. Geram. Rasanya aku ingin menendang kakinya.
“Memang sulit menemukan pria gentleman,” begitu komentar temanku saat aku ceritakan peristiwa itu. Tak mau kalah, ia mengeluarkan stok ceritanya: pria yang berebut keluar duluan dari lift, pria yang tak mau mengalah dengan perempuan hamil, pria yang merokok di dekat bayi dan ibu hamil, pria yang berdecak-decak dan bersiul kalau perempuan lewat, pria pemukul perempuan, dan masih banyak lagi. “Kalau sudah begitu, rasanya kepengen nonjok,” gumamnya.
“Gue sih lebih baik nggak kawin daripada dapat pria macam itu,” sahut temanku yang lain.
Pertanyaannya, masih adakah laki-laki gentleman di dunia ini? Tapi, gentleman itu apa sih? Apa kriterianya?
Film-film Bollywood menggambarkannya sebagai pria yang jago berkelahi sekaligus pandai menyanyi dan menari. Hollywood mencitrakan pria yang lihai berkata-kata, mahir menggiring perempuan ke tempat tidur, atau malah pria tampan berhati dingin yang jago menembak. Korea tak mau kalah; menggambarkan pria dengan dandanan fesyen mutakhir yang kocak, cool, dan romantis. Majalah di Indonesia menggambarkannya dengan pria-pria berotot dan maskulin.
Eric Ludy, penulis buku “When God Writes Your Love Story” menggambarkannya sebagai pria yang berhati baja sekaligus berhati selembut bulu angsa atau man of steel and man of down. Sekaligus. Bukan salah satu.
“A warrior poet”, seorang ksatria yang gagah perkasa, sekaligus seorang pujangga berhati lembut.
Pria berhati baja, yang maskulin, berotot, keras, dan tegas di hadapan masalah dan orang kurang ajar. Sekaligus pria berhati lembut seperti angsa yang tahu bagaimana membela perempuan, bagaimana menangani perempuan yang menangis, anak-anak yang ingin digendong dan disayang.
Kalau hanya sisi baja, hasilnya adalah pria sombong, angkuh, dan dingin. Kalau hanya sisi bulu angsa, hasilnya pria yang lembut, suka menulis puisi, tetapi selalu lari dari tantangan. Atau, malah pria yang cenderung seperti perempuan. Gemulai. Oh, tidak! Ini tentu mimpi buruk!
Dua sisi ini sesungguhnya citra seorang pria ketika Tuhan menciptakan Adam. Inilah gambaran pria ilahi yang sesuai dengan nilai-nilai Kerajaan Sorga. Pria macam inilah yang stoknya tipis di dunia. Dunia menawarkan berbagai gambaran pria sejati dan maskulin, tetapi tak satupun dari gambaran itu yang bisa menandingi gambaran cetak biru Kerajaan Sorga mengenai pria.
Jika Anda pria yang baca artikel ini dan ingin tahu lebih banyak mengenai gambaran pria gentleman yang sesungguhnya, baca di link ini . Anda juga bisa membaca buku Eric Ludy, “God’s Gift to Women.” Saya sependapat, laki-laki macam inilah yang sesungguhnya dibutuhkan seluruh perempuan di dunia: kaum istri, ibu, anak-anak. (nieke indrietta/www.indrigautama.org)