Dengan keinginan dan adanya kesempatan, saya berangkat menuju Boyolali bersama dengan tim untuk menjadi relawan di pengungsian. Saya secara pribadi pada waktu itu masih belum memiliki rencana apa yang harus saya lakukan. Yang pasti, intinya sih satu, apa yang bisa saya lakukan untuk membantu teman-teman pengungsi di sana. Sekitar pukul 1 siang, kami sampai di wilayah Jawa Tengah dan sudah disuguhi dengan pemandangan gunung Merapi yang sedang ramainya dibicarakan. Pemandangan itu sejenak membuat saya takjub, sekaligus ngeri juga. tapi tidak berselang lama, saya lebih memikirkan bagaimana dengan pengungsi2nya. Sekitar pukul 3 sore, kami sampai di pos sementara kami. Selagi menunggu koordinator di wilayah salatiga, kami pun istirahat. Pukul setengah 5 sore, kami berangkat menuju posko yang akan kami tinggali. Tepat pukul 8 malam kami sampai di posko kami. Dan disini dimulainya petualangan saya. Malam itu saya hanya mencoba melihat situasi dan menjalin hubungan dengan relawan yang lain. Ada relawan yang dari salatiga, ada juga yang dari Jakarta. Hari pertama hanya itu saja yang saya lakukan.
Hari kedua, selagi relawan dan tim yang fokus ke anak-anak kecil disana, saya mulai pergi mengunjungi pengungsi yang ada disana, mulai mengobrol sana-sini, dan bercanda. Lewat obrolan-obrolan ringan, hingga pada akhirnya mulai serius. Dan seperti yang dikatakan oleh dosen saya, mereka butuh didengar keluh kesahnya, istilahnya curhat…dan saya pun melakukannya, dan memang sangat manjur. Setiap pengungsi yang saya ajak ngobrol selalu mengutarakan isi hatinya, ketakutannya, dan saya benar-benar menyediakan hati dan telinga saya untuk mendengar mereka. Saya paham bahwa saya tidak ikut mengalami kejadian yang mengerikan yang telah dirasakan mereka, oleh sebab itu saya datang kepada mereka dengan tidak dengan sok membawa perubahan ataupun solusi. Untuk ukuran dan kondisi saya disana, saya hanya mampu mendengar curhat mereka, tapi saya sendiri paham, bahwa saya harus melakukan sesuatu untuk kebaikan mereka. Jadi, yang saya lakukan adalah ketika keluh kesah mereka dilontarkan, kesedihan mereka diluapkan, saya akan berusaha memahami dan lebih mengajak mereka untuk tidak melihat kebelakang terus-menerus. Saya berusaha mengajak mereka untuk melihat kedepan, apa yang akan mereka lakukan kedepan, harapan mereka kedepan, keinginan mereka kedepan. Saya ingin mereka mulai memikirkan hidup mereka kedepannya, ketimbang selalu memikirkan kejadian yang sudah-sudah tanpa mulai bergerak untuk memperbaikinya.
Hari ketiga kami di pengungsian, tepatnya hari Senin, dari pihak koordinator posko disana memutuskan untuk tidak lagi membuka posko disana karena hampir semua pengungsi yang ada disana memilih untuk mulai kembali di desa mereka. Dari total pengungsi yang awalnya 600 menjadi sekitar kurang dari 200 pada hari senin, dan jumlah anak-anak juga sedikit sekali. Saya dan tim mulai memikirkan, apa yang akan kami lakukan selanjutnya. Apakah sudah cukup waktu kami disini. Relawan yang dari Jakarta pun harus kembali ke Jakarta, jadi kondisi kami pada waktu itu cukup bingung juga. akhirnya kami menunggu pihak koordinator posko, dan setelah bertemu, kami diberikan beberapa pilihan. Karena posko awal tempat kami tinggal sudah ditarik, kami bisa kembali ke Surabaya, atau masih ingin tinggal di salatiga untuk meninjau desa-desa didekat Merapi untuk melihat situasi disana, dan melihat kebutuhan-kebutuhan apa saja yang penduduk tersebut perlukan. Dan kami memilih untuk tetap tinggal.
Hari selasa, saya dan tim beserta koordinator posko meluai berangkat menuju sebuah desa di kilometer 6 dari puncak gunung Merapi, tepatnya di desa Rogobelah. Dan sebelum itu, kami pergi di posko pengungsian yang lain untuk mengajak salah seorang pengungsi yang ada disana yang bertempat tinggal di desa tersebut, dan terpilihlah ketua RT yang akan pergi bersama-sama kami. Karena mobil penuh, saya pun harus duduk di kursi belakang bersama-sama dengan ketua RT. Di awal perjalanan kami, saya sempat berdoa dan bercanda dalam hati. Doa saya “Tuhan, jangan Kau biarkan paru-paruku terbakar karena kesalahan orang ini Tuhan…”. Tepat saja, di dalam mobil, pak RT malah merokok..untung saja tidak lama setelah saya berdoa, koordinator lapangan meminta pak RT untuk mematikan rokoknya. Thanks God…
Sampai di desa Rogobelah, saya sudah disuguhi pemandangan yang hebat. Semua serba abu-abu. Saya benar-benar tidak bisa berkata apa-apa waktu itu. Hanya takjub dengan kondisi disana. Setelah melihat-lihat pemandangan dan kondisi disana, saya mulai mencari anggota tim saya yang lain. Saya sudah tertinggal dari rekan-rekan yang lain karena terlalu asik dengan pemandangannya. Akhirnya saya ketemu juga dengan anggota tim saya yang sedang mengobrol didepan pintu rumah seorang warga disana yang kebetulan sebelumnya juga mengungsi di tempat pengungsian yang sama dengan kami. Akhirnya saya pun ikut mengobrol disana, dan kami diajak masuk dalam rumahnya. Tapi entah bagaimana caranya, rekan saya ini sudah keluar dari rumah, sedangkan saya sendiri masih didalam rumah, dan saya sebut dengan istilah terjebak didalam rumah karena akhirnya saya harus tetap didalam rumah tersebut dan ditemani satu keluarga yang ada disana. Saya pun tidak bisa pergi karena sudah terlanjur disuguhi seikat pisang dan segelas teh tawar, yang menurut saya lebih tawar dari teh tawar, plus debu dipinggir gelasnya. Ini benar-benar pengalaman yang istimewa buat saya pribadi, karena saya benar-benar menyerahkan semua dalam tangan Tuhan…ciieee…..hahaha…ya bagimana tidak, di keluarga itu hanya bisa bahasa kromo inggil yang halus banget. Jadi saya harus benar-benar menjaga omongan. Dan apalagi suguhan-suguhannya ya sedikit banyak pernah jadi korban abu juga, hahahaha…..tapi saya tidak terlalu terpengaruh sih dengan kondisi itu. Saya bersyukur bahwa waktu itu yang saya pikirkan adalah bagaimana saya bisa masuk di obrolan-obrolan itu dan mengakhirinya dengan mengajak mereka untuk melihat dan memikirkan kedepannya. Itu saja. Dan saya rasa, saya bisa dan berhasil melakukannya. Setelah hampir setengah jam mengobrol, saya putuskan untuk cepat2 menghabiskan makanan yang sudah dihidangkan buat saya, dan saya pamit untuk pulang. Untung saja waktu sajian habis, obrolan juga pas habis. Yaaaaaah….waktu yang pas untuk berpamitan, hehehehe….saya berpamitan dengan keluarga disana, dan saya segera keluar dari rumah karena takut ditinggal oleh tim. Waktu keluar rumah, untung saja mobil tim sedang berjalan didekat rumah itu dan akan pulang…..saya benar-benar bersyukur…hahahaha…..
terlalu banyak yang bisa saya ceritakan disini. Intinya, apa yang sudah saya lakukan disana benar-benar luar biasa, dan saya rasa itu juga bisa dilakukan oleh orang lain. Jadi kenapa anda tidak memulainya??