Saya merasa hidup karena saya bisa melihat dengan kedua bola mata, menggerakkan anggota badan dengan otot-otot, mengatur udara yang masuk ke paru-paru, menggunakan seluruh panca indera saya. Tetapi saya ingat, Yakobus menulis di suratnya, “Apa arti hidupmu? Hidupmu itu seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap.” - Yakobus 4:14 Kata-kata ini terngiang-ngiang di telinga saya, “Apa arti hidupmu? Apa arti hidupmu? Apa arti hidupmu?”
Saya mendengar kabar mengenai artis yang tak disangka-sangka meninggal. Kabar mengenai teman dekat yang juga meninggal secara mendadak. Kapan giliran saya? Saya jadi semakin berpikir, apa sih arti hidup bagi saya? Toh, hidup itu seperti uap. Sebentar ada, sebentar lagi lenyap. Saya ada karena Sang Pencipta mau saya ada. Tapi untuk apa? Karena seperti uap, nantinya akan lenyap.
Seorang teman nyeletuk di dalam sebuah pembicaraan mengenai hidup, “Hidup itu seperti uap mie pangsit. Harum, membuat lapar, tapi ujung-ujungnya hilang dan tidak berguna.”
“Benarkah hidup itu seperti uap mie pangsit yang tidak berguna?”
Saya tertawa kecil mendengarnya. Lalu berpikir, “Benarkah hidup itu seperti uap mie pangsit yang tidak berguna?” Saya ingat, kadang-kadang saya mampir ke sebuah restoran karena tergiur oleh bau masakannya. Bau masakan yang menyebar itu dapat membuat perut kenyang menjadi lapar secara instan! Hmmm….kalau hidup ini memang seperti uap mie pangsit, berarti uap itu berguna. Karena uap mie pangsit itu wangi. Orang yang mencium baunya jadi ingin makan. Orang-orang akan mendatangi restoran untuk makan karena baunya yang mengundang selera. Ini efek uap, ‘kan?
Sama seperti hidup.
Saya menentukan sendiri mau jadi uap seperti apa hidup saya. Yang berguna atau beracun? Yang sekedar lewat, atau yang membawa dampak dan pengaruh bagi orang lain? Kalau uap itu berguna mendatangkan pelanggan ke restoran, saya juga bisa menjadi uap yang berguna untuk membuat orang-orang datang kepada Tuhan. Saya jadi sadar, bahkan hidup manusia yang hanya seperti uap saja Tuhan begitu peduli. Tuhan mau memakai uap saya ini untuk memberkati orang lain. Untuk membawa orang lain datang dan mencicipi Tuhan. Tuhan ingin uap saya wangi dan menarik orang-orang untuk mengenal-Nya.
Sekarang, apakah uap saya cukup wangi? Dan apakah uap itu menempel di kehidupan orang sampai aku meninggal nanti? Ternyata, uap saya ini tidak dibiarkan lenyap sebelum menarik banyak orang untuk datang kepada Tuhan. Uap saya harus wangi dulu! Bahkan Tuhan menyiapkan segala rencana terbaik-Nya untuk membuat uap saya wangi. Apakah saya sudah mengijinkan Tuhan membuat uap saya wangi? Saya belajar merendahkan hati untuk selalu taat, apapun yang Ia rencanakan, di dalam segala situasi. Yah, Tuhan, saya mau jadi uap yang wangi bagi-Mu. Jadikan aku sesuai dengan mau-Mu.”
(Written by: VP)